TRADISI KLIWONAN KAB BATANG
PENDAHULUAN
Batang merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang letak
geografisnya dibatasi Laut
Jawa di utara, Kabupaten
Kendal di timur, Kabupaten Banjarnegara di selatan, serta Kota
Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan di barat. Kabupaten Batang yang berslogan Batang berkembang ini
memiliki salah satu tradisi menarik yang dikenal dengan kliwonan. Kliwonan
merupakan acara pasar malam yang diadakan setiap hari kamis wage (malam jum’at
kliwon) atau 35 hari sekali bertempatkan di Alun-alun Batang.
Warga biasanya berbondong-bondong mengunjungi
acara tersebut untuk berbelanja ataupun sekedar berjalan-jalan. Para pedagang
kaki lima baik dari dalam maupun luar Kabupaten Batang berdatangan memanfaatkan
peristiwa ini untuk menjajakan dagangan mereka. Pedagang menganggap berjualan
di kliwonan membawa rezeki tersendiri yaitu sebagai penglaris (dagangan mereka
akan semakin laris). Pedagang yang berjualan tak hanya berasal dari Kabupaten
Batang, Pekalongan dan Weleri, namun banyak pedagang dari luar kota Batang
seperti dari Bandung, Lamongan dan lain-lain yang sengaja datang untuk mengais
rezeki di kliwonan. Barang yang diperdagangkan beraneka ragam, tapi biasanya
relatif sederhana dan murah meriah. Tak hanya dagangan, banyak hiburan merakyat
yang dipamerkan di kliwonan sehingga semua kalangan dapat menikmatinya. Lokasi
kliwonan berada di alun-alun dirasa sangat srategis oleh pengunjung dan
pedagang karena letaknya dekat dengan jalan raya. Sehingga pengunjung yang
menghadiri semakin bertambah dari tahun ke tahun. Apalagi setelah malam Jumat Kliwon menjadi hari libur resmi
bagi kaum pekerja swasta di Kota Batang dan Pekalongan. Selain itu, para buruh
mingguan juga rata-rata menerima gaji pada Kamis sore alias malam Jumat Kliwon. Keramaian
ini yang kemudian menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat kabupaten Batang
bahkan masyarahat dari luar kabupaten Batang sekalipun.
Selain menjadi acara hiburan, kliwonan
memiliki manfaat yang sangat penting khususnya bagi masyarakat kabupaten Batang
yaitu sebagai sarana untuk mempersatukan masyarakat yang berada di berbagai
desa dan kelurahan serta menjadi salah satu faktor penting dalam mewujudkan
masyarakat yang rukun, tentram, dan damai. Manfaat untuk para pedagang yang
berjualan yaitu dengan adanya kliwonan mereka dapat saling mengenal satu sama
lain dan kemudian saling membutuhkan. Meraka yang berasal dari berbagai daerah,
berbeda suku dan kebudayaan bisa saling mengetahui dengan adanya pertemuan di
pasar kliwonan. Para pedagang tersebut
pada umumnya tidak merasa saling menyaingi satu dengan yang lainnya atau iri
dengan hasil keuntungan orang lain ketika berdagang di Kliwonan. Mereka
beranggapan bahwa rejeki masing-masing orang sudah diatur oleh Tuhan, dan bahwa
tradisi Kliwonan pasti membawa berkah bagi orang yang berjualan di Kliwonan.
Tadisi kliwonan ini rutin dilakukan
oleh warga setempat. Ada mitos mengatakan bahwa akan ada sanksi alam tatkala
kliwonan di alun-alun kabupaten Batang tidak dilaksanakan. Ataupun kliwonan
tersebut dipindah tempatkan ke lokasi lain selain di alun-alun. Sanksi alam itu
berupa kemarahan nenek moyang dan kemarahan pohon beringin yang berbau magis.
Pohon itu terletak ditengah alun-alun kabupaten Batang. Zaman dahulu pernah ada
cerita, saat kliwonan tidak dilaksanakan terdengar suara ledakan seperti
ledakan mercon atau petasan. Setelah diselidiki, suara ledakan tersebut berasal
dari pohon beringin. Akan tetapi di
tempat tersebut tidak ditemukan adanya bekas kertas-kertas atau sisa-sisa
ledakan petasan. Kemudian masyarakat memercayai bahwa suara ledakan
itu adalah kemarahan dari pohon beringin.
Ada pula mitos bahwa keberadaan makhluk halus ikut meramaikan tradisi kliwonan.
Konon makhluk halus tersebut beramai-ramai datang ke Kliwonan dengan menjelma
menjadi manusia biasa. Ada pengakuan dari beberapa masyarakat yang membenarkan
keberadaan makhluk halus tersebut. Tetapi makhluk halus tidak mengganggu
jalannya tradisi Kliwonan, terbukti dengan adanya tradisi tetap berjalan dengan
lancar dan tanpa ada kendala.
Mitos lainnya seperti makan makanan khas kliwonan yaitu gemblong dan klepon memiliki
makna tersendiri, yaitu gemblong yang lengket dapat diartikan sebagai kerekatan
(persaudaraan) antar masyarakat, kerekatan budaya dan kerekatan jodoh
sehubungan mitos ngalap berkah dalam mencari jodoh di tradisi kliwonan.
Gemblong yang berwarna putih dapat dilambangkan sebagai kesucian. Sedangkan klepon
yang luarnya berwarna hijau dilambangkan sebagai keagamaan, yang artinya
tradisi kliwonan (jaman dahulu) sarat dengan nilai-nilai agama, santan
dilambangkan sebagai inti perdalaman agama dan cairan gula di dalam klepon yang
berwarna merah sebagai lambang keberanian. Namun bagi masyarakat sekarang
terkadang tidak terpengaruh oleh mitos tersebut karena memang sebagian ada yang
tidak tahu dan jika mereka tahu maka hal itu tidak begitu mempengaruhi mereka.
Alasan mereka membeli dan makan gemblong dan klepon hanya karena suka atau
memang makanan kegemaran.
Meskipun mitos yang
telah disebutkan beredar, kliwonan tetaplah menjadi tradisi bagi masyarakat
Batang sebagai media rekreasi keluaraga yang telah turun temurun diadakan di
Alun-Alun Batang.
BAB 2
PERMASALAHAN
Permaslahan 1
Kliwonan yang dilaksanakan sekarang
ini ternyata berbeda dengan kliwonan yang dahulu, kliwonan kini telah mengalami
perubahan bentuk dan fungsi dari yang sesungguhnya seiring dengan berkembangnya
masyarakat yang modern. Salah satu
tanda makin terkikisnya budaya dari tradisi Kliwonan adalah hilangnya sebuah
ritual yang sejak dahulu telah melekat dengan tradisi itu sendiri, yaitu ritual
‘gulingan’. Sekitar tahun 1980 hingga 1990-an, ritual tersebut masih sering
dilakukan oleh masyarakat Batang setiap Kliwonan, khususnya bagi masyarakat
yang memiliki anak kecil. Ritual tersebut dilakukan dengan harapan agar si anak
bisa tumbuh sehat dan terhindar dari semua marabahaya dan penyakit.
Penghargaan terhadap tradisi itu
kini telah hilang, terkikis oleh kepentingan ekonomi. Kliwonan yang sekarang
tak lebih hanya sebagai kegiatan jual-beli semata. Bisa jadi masyarakat yang
mengunjungi pergi hanya untuk mencari penghasilan. Atau hanya untuk memuaskan
diri berbelanja di kliwonan.
Pemasalahan
2
Lokasi alun-alun
kabupaten Batang yang tepat di pinggir jalan pantura menyebabkan kemacetan
ketika kliwonan belangsung. Penyebab terjadinya kemacetan ini karena banyak
pengunjung yang berlalu lalang menyeberang menuju dan meninggalkan alun-alun. Jalanan
di depan masjid Agung, gang-gang kecil sekitar alun-alun digunakan untuk area
parkiran. Terbayanglah betapa ramainya daerah Alun-alun dan skitar saat
kliwonan itu diselenggarakan.
Pernah diajukan usulan
oleh pemerintah setempat untuk mengantisipasi masalah kemacetan ini, dengan
cara memindahkan lokasi kliwonan ke lapangan Dracik Kelurahan Proyonanggan
Selatan Kabupaten Batang. Di lapangan Dracik
diharapkan dapat menghindari kemacetan, karena termasuk daerah yang sepi.
Tetapi hal tersebut memberatkan para pedagang yang berjualan di pasar Kliwonan,
karena dianggap terlalu jauh dari jalan raya. Ditambah dengan mitos bahwa pohon
beringin akan marah ketika kliwonan itu dipindah tempatkan. Memang pohon
beringin yang berada di tengah alun-alun itu berbau magis.
BAB 3
PEMBAHASAN
Pembahasan 1
Tradisi malam Jumat kliwon atau yang
familiar dikenal dengan kliwonan telah dilaksanakan oleh masyarakat Batang
sejak dahul dan berjalan secara turun-menurun dari generasi nenek moyang hingga
generasi anak cucu. Awalnya, tradisi ini diadakan untuk mengenang jasa para
leluhur dan nenek moyang Batang yang telah membangun daerah Batang. Kliwonan dahulu
merupakan kegiatan melakukan berbagai ritual-ritual sederhana. Namun karena
arus globalisasi kini telah mengalami perubahan fungsi menjadi kegiatan jual
beli. Asal-usul kliwonan ini berkaitan dengan cerita rakyat atau legenda lahirnya
Kabupaten Batang.
Menurut cerita, asal-usul tradisi
kliwonan bermula ketika pemerintahan Sultan Agung di Kerajaan Mataram. Batang
dulu masih berupa hutan luas yang disebut Alas Roban. Di
Alas Roban ini ada sekelompok perampok yang sangat berbahaya dan selalu
meresahkan masyarakat setempat, kadang juga mengganggu orang-orang yang lewat
di daerah tersebut. Sultan Agung dalam upaya memperluas wilayah Kerajaan
Mataram, memerintahkan seorang punggawa kerajaannya yang sakti bernama Ki Ageng
Cempaluk dengan menebang hutan Alas Roban sekaligus memusnahkan para perampok
di hutan tersebut. Alas Roban ini nantinya akan dijadikan lahan persawahan yang
selain untuk pertanian bagi masyarakat, juga untuk mencukupi kebutuhan bahan
makanan bagi prajurit Mataram yang sedang berperang melawan Belanda. Punggawa
kerajaan yang telah mendapatkan perintah dari Sultan Agung tersebut kemudian
memerintahkan anak buah sekaligus muridnya yang bernama Joko Bahu atau
Bahurekso.
Pelaksanaan tugas
dimulai dengan penebangan hutan, dan pembuatan bendungan di sungai Lojahan.
Bendungan di sungai Lojahan tersebut digunakan untuk mengairi persawahan di
daerah sekitar. Tetapi dalam melaksanakan tugas tersebut Bahurekso mendapat
perlawanan dari perampok. Pertempuran terjadi sama-sama kuatnya di kedua belah
pihak dan tidak ada yang terkalahkan. Tapi dengan perlawanan yang kuat,
akhirnya Bahurekso berhasil mengalahkan para perampok tersebut. Setelah
perlawanan Bahurekso selesai kemudian mulai melanjutkan penebangan hutan yang dilakukan
dari arah timur yaitu mulai daerah Subah ke Barat hingga ke Sungai Lojahan. Di
Sungai tersebut kemudian dibangun sebuah bendungan yang digunakan untuk
menampung dan mengalirkan air sungai ke daerah yang baru saja ditebang
pohonnya, sehingga lahan tersebut menjadi lahan yang siap tanam.
Ketika Bahurekso sedang
melaksanakan pembangunan bendungan di sungai Lojahan terdapat kayu besar atau
watang yang melintang di sungai tersebut sehingga pembuatan bendungan mengalami
sedikit kesulitan. Kemudian Bahurekso melakukan semedi di sungai Lojahan pada
malam jumat kliwon atau untuk mendapatkan kekuatan gaib. Sungai tersebut
kemudian dikenal warga dengan nama sungai Kramat, karena sungai tersebut
dipercaya mempunyai hal yang berbau keramat. Setelah bersemedi segeralah
Bahurekso menuju ke pohon watang yang melintang tersebut dan mengangkat serta
mematahkan kayu tersebut atau dikenal dengan istilah ngembat watang. Peristiwa
bersemedi Bahurekso rupanya diikuti orang lain dan kemudian banyak masyarakat
menyakini keberadaan kekuatan yang ada. Maka dari sinilah asal usul kliwonan
dan sekaligus kabupaten Batang berdiri, bahwa kata Batang berawal dari kata
Ngembat Watang.
Batang kemudian berdiri
sebagai kabupaten kecil yang saat itu di bawah kekuasaan Bupati yang bernama
Pangeran Mandurejo. Akan tetapi Madurejo tidak dapat memimpin Batang secara
langsung, dikrenakan kesehariannya beliau mendampingi Sultan Agung di Kerajaan
Mataram. Pengeran Madurorejo selain menjadi Bupati pertama di Batang, beliau
juga panglima perang Sultan Agung saat menyerang VOC di Betawi.
Pada waktu itu
pemerintahan kemudian diserahkan kepada Raden Joko Cilik keturunan Sunan
Sendang (Sayid Nur atau Raden Nur Rachmat) dari desa Sendang Dhuwur di
Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Jawa Timur yang pergi ke barat Alas Roban
untuk melaksanakan dakwah. Pangeran Joko Cilik dijadikan pejabat Bupati di
Batang untuk membantu pemerintahan Kabupaten Batang. Pelaksanaan pemerintahan
Kabupaten Batang dipercayakan kepada Raden Joko Cilik hingga masa pemerintahan
Bupati ke II yaitu Kanjeng Ratu Batang (Sekar Ayung atau Putri Prahila) yang
merupakan putri dari Pangeran Madurorejo. Saat menjadi pejabat Bupati tersebut,
beliau kerap menjadi imam Masjid Agung Batang, di mana beliau juga ikut andil
dalam pembuatan masjid tersebut.
Tradisi Kliwonan yang
sekarang ini pada mulanya diadakan dengan pertimbangan untuk mengenang para
leluhur masyarakat Batang yaitu Bahurekso yang dahulu pernah bersemedi di
sungai Lojahan atau Kramat. Terdapat kebiasaan di makan Sunan Sendang atau
Sayid Nur pada setiap malam Jumat Kliwon banyak orang-orang datang ke sana
untuk berziarah, kemudian ditiru oleh masyarakat Batang. Masyarakat Batang
khususnya para orang tua sering bersemedi di sungai Kramat.
Diwaktu yang sama dilaksanakan
berupa upacara ngalap berkah (mencari Berkah) dalam rangka penyembuhan dan
kesehatan untuk anak-anak kecil dengan melakukan beberapa ritual yaitu ritual
gulingan. Ritual ini dilakukan di alun-alun Batang dengan cara menggulingkan
anggota badan orang yang sakit. Kemudian dilanjutkan mandi di mandi di Masjid
Agung Batang dan membuang pakaian bekas yang dipakainya sewaktu ritual
gulingan. Air yang digunakan untuk membasuh muka atau untuk mandi dalam ritual
tersebut terletak di tempat wudhu Masjid Agung sebelah selatan yang konon air
tersebut berasal dari mata air yang terdapat di dekat makam Sunan Sendang yang
dibawa Raden Joko Cilik ke Batang. Air itu dipercaya dapat menyembuhkan
penyakit atau menghindari dari segala penyakit. Pakian yang dilepas dan
ditinggal di Masjid Agung ketika melakukan tradisi tersebut sebagai simbol
meninggalkan hal-hal yang buruk. Tradisi tersebut kemudian dilanjutkan dengan
membagi-bagikan uang logam serta makanan khas pasar (jajan pasar) sebagai tanda
bersyukur.
Karena banyak orang
yang melakukan ritual ini, maka sedikit demi sedikit pedagang yang berdatangan menjajarkan
dagangannya dialun-alun. Awalnya hanya penjual makanan pasar seperti gemblong
dan klepon saja. Kemudian lama kelamaan penjual mainan. Dari sini mulailah timbul pergeseran budaya dimana para pedagang mulai
memadati alun-alun Kota Batang yang antara para pedagang tidak hanya penjual
makanan saja tetapi juga terdiri dari pedagang pakaian, tanaman hias, perabot
rumah tangga dari plastik, sepatu atau sandal, kaos kaki dan lain-lain. Dengan
keadaan tersebut kemudian tradisi Kliwonan dapat dikatakan sebagai pasar malam.
Keadaan
ini menjadikan ritual gulingan di halaman alun-alun Batang ditinggalkan, karena
tidak adanya tempat untuk melaksanakan ritual ini. Halaman alun-alun Batang
kini dipenuhi oleh orang yang melakukan transaksi jual beli. Juga dikarenakan
oleh kemajuan zaman yang semakin modern, sehingga pola pikir masyarakat yang menganggap
bahwa penyakit-penyakit tidak dapat disembuhkan dengan cara ritual gulingan.
Diera yang serba canggih ini, ritual tersebut kurang pantas untuk dilakukan.
Cukup sebagai kepercayaan masalalu untuk dikenang. Adapun untuk berobat,
sekarang sudah banyak instansi kesehatan yang menyediakan fasilitas yang lebih
pantas unuk menangani pasien yang sakit.
Kemudian
yang sekarang masih ada yaitu mandi di Masjid Agung, akan tetapi untuk membuang
pakaian dan meninggalkannya sekarang telah dilarang oleh pengurus Masjid
dikarenakan mengotori halaman masjid. Biasanya tradisi mandi di Masjid Agung
sekarang ini masih dilakukan oleh masyarakat daerah pedesaan.
Untuk tetap menjaga warisan budaya dari nenek moyang ini,
masyarakat Batang tetap menyelenggarakan kliwonan dalam bentuk pasar malam yang
ada sekarang ini. Walaupun sudah tidak sama dengan tradisi yang sesungguhnya.
Namun bagaimanapun Jumat Kliwonan itu layak
dikembangkan menjadi aset wisata, sekaligus aset budaya dan aset ekonomi,
karena bisa menjadi barometer kemakmuran rakyat Batang.
Pembahasan
2
Setiap
tradisi kliwonan dilaksanakan, alun-laun kabupaten Batang selalu dipenuhi oleh
ratusan orang penjual, pembeli ataupun orang yang datang hanya sekedar ingin
berjalan-jalan saja. Yang biasanya alun-alun itu tidak begitu ramai, saat
kliwonan seperti pasar yang dipindah tempatkan di alun-alun. Pengunjung
berdesak-desakan di antara celah-celah sempit lapak pedagang di pasar kliwonan.
Para pejalan kaki memenuhi jalan pantura karena mereka melintasi jalan untuk
menuju dan meninggalkan alun-alun. Jalan di depan Masjid Agung dan di gang-gang
kecil dijadikan tempat untuk parkiran. Bersamaan dengan ingar-bingar kliwonan, juga digelar pentas seni
tradisional khas Batang di depan Kantor Bupati, yang diisi secara bergiliran
oleh 12 grup kesenian dari 12 kecamatan, seperti kesenian lengger, kuda
lumping, campursari, rebana, dan kasidah. Tentu saja ini semua membuat
kemacetan di sekitar alun-alun.
Acara itu belum dikelola secara
profesional, dan terkesan semrawut. Perlu penataan khusus, seperti parkir dan
pedagang yang meluber ke jalan, yang kadang amat mengganggu pengunjung.
Pemerintah kota seharusnya tidak hanya mengurusi masalah kontrak kepemilikan
stand untuk berjualan saja. Antisipasi dari kemacetan dan kesemrawutan
diperlukan dari pemerintah setempat dan Polsek Batang. Semuanya untuk menjaga
ketertiban dan kelancaran pelaksaan
tradisi.
Warga
berperan sangat penting dalam hal ini, belum pernah terdengar adanya tindak
kriminal, kerusuhan atau perkelahian baik di alun-alun atau pasar malam maupun
di tempat panggung pertunjukan kesenian dan pemutaran film yang terjadi saat
tradisi ini di laksanakan. Walaupun berdesak-desakan di dalam pasar, namun
masyarakat pendukung tetap saling menghormati kepentingan masing-masing dan
menjaga ketertiban dalam pelaksanaan tradisi Kliwonan. Tidak ada ketentuan
secara khusus atau pengenaan denda dari pemerintah setempat mengenai ketertiban
di Kliwonan. Jadi ketertiban tersebut tercipta dengan kesadaran masyarakat
sendiri.
ass. nuwun sewu saya minta ijin copy ya ... matur nuwun moga bermanfaat
BalasHapusIya, monggo ^^ semoga bermanfaat
BalasHapus